Showing posts with label museum. Show all posts
Showing posts with label museum. Show all posts

Friday, August 9, 2019

Belajar Sejarah di Museum Hakka Indonesia

Siapa yang tidak tahu TMII? Sepertinya semua orang tahu TMII. Taman Mini Indonesia Indah atau TMII memang terkenal sebagai tempat wisata, baik keluarga, sekolah maupun individu.TMII memang tempat wisata yang edukatif dan sangat luas dan sering sekali menjadi tempat tujuan karya wisata sekolah-sekolah. Di sini bukan hanya terdapat replika pulau-pulau di Indonesia, tetapi juga banyak museum yang dapat dikunjungi. Salah satunya adalah Museum Hakka.

Museum Hakka yang terletak di bagian dalam TMII ini merupakan museum yang berisi kebudayaan Tionghoa yang ada di Indonesia, dan juga sejarah suku Hakka. Dengan adanya museum ini, maka masyarakat pun dapat mengetahui sejarah warga keturunan Tionghoa dan sumbangsih mereka di Indonesia.
Aula Budi Luhur.
Untuk menuju ke museum ini, kami melalui Taman Budaya Tionghoa. Taman ini merupakan taman yang dibangun dengan menyuguhkan konsep bernuansa khas etnis Tionghoa. Di taman ini terdapat gazebo, patung Dewi Bulan, jembatan batu Sampek Eng Tay, dan Museum Laksamana Ceng Ho.
Taman Budaya Tionghoa
Jembatan menuju danau.
Di taman ini juga terdapat 12 macam shio dengan kisahnya. Konon Raja Langit mengundang semua binatang untuk menghadap. Yang pertama datang adalah tikus. Selanjutnya adalah kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi di urutan ke-12. Entah itu benar atau tidak, namun yang memudahkan adalah setiap shio akan berulang setelah 12 tahun. Sehingga memudahkan perhitungan umur orang.
Taman 12 Shio.
Babi mendapat pita karena tahun ini tahun babi.
Yang paling menarik adalah Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC. Dari monumen ini, maka terlihat jelas pada awalnya warga keturunan dan warga setempat bahu-membahu membela Indonesia dari para penjajah.
Monumen Perjuangan Tionghoa dan Jawa melawan VOC
Di samping Museum Laksamana Ceng Ho, terdapat gedung yang cukup besar, yaitu Gedung Museum Hakka Indonesia. Di gedung ini terdapat 3 lantai. Lantai pertama merupakan hall yang besar, lengkap dengan panggung. Hall ini dapat digunakan untuk acara-acara besar.
Kapal Laksamana Cheng Ho.
Peralatan dinasti Ching.
Di lantai kedua gedung ini terdapat Museum Tionghoa Indonesia. Dimulai dari saat orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia dan berbaur dengan masyarakat setempat, baik di pulau Jawa, Sumatra, Bangka Belitung, Kalimantan, Bali,dan pulau-pulau lainnya.
Aktivitas orang Tionghoa di era kolonial.
Orang Tionghoa di Bangka Belitung.
Salah satu pekerjaan yang dilakoni warga keturunan pada masa Belanda: tukang cukur dan korek kuping.
Macam-macam timbangan yang digunakan pada masa itu.
Peralatan kantor, lengkap dengan sempoa.
Alat rumah tangga.
Yang tidak kalah menarik adalah Ruang Merah Putih. Diruangan ini terdapat foto tokoh-tokoh Tionghoa yang berjasa terhadap bangsa Indonesia. Salah satunya adalah John Lie.
John Lie, salah satu tokoh Tionghoa yang berjasa bagi Bangsa Indonesia.
Para pahlawan.
Di bagian akhir museum ini terdapat bagian kebudayaan Tionghoa yang juga menjadi kebudayaan Indonesia, seperti wayang Potehi, wayang kulit, gambang kromong. Bahkan batik pun mempunyai motif-motif yang bernuansa Tionghoa seperti burung phoenix dan naga.
Wayang potehi yang colorful.
Gambang kromong yang ternyata salah satu kebudayaan Tionghoa.
Batik hasil asimilasi kebudayaan.
Kereta jenazah zaman dahulu.
Di lantai 3 gedung ini terdapat Museum Hakka Indonesia dan Museum Yongding Hakka Indonesia. Hakka merupakan salah satu subsuku dari suku Han. Orang Hakka terkenal sebagai subsuku yang sering menjelajah kemana-mana. Awalnya nenek moyang orang Hakka berada di daerah Utara. Namun karena perang dan bencana alam, maka mereka pun pindah ke daerah Selatan. Salah satunya adalah di Fujian.

Berdasarkan sejarah yang ada, leluhur orang Hakka sudah mengalami migrasi besar-besaran sebanyak 6 kali. Yang pertama adalah saat di akhir Dinasti Jin dimana terjadi pemberontakan lima suku barbar. Karena tidak tahan menghadapi penjajahan, terjadilah migrasi besar-besaran ke selatan. Yang kedua terjadi saat masa dinasti Tang. Saat itu terjadi bencana alam dan Pemberontakan Anshi, maka sebagian leluhur Hakka yang dipimpin oleh Huangchao melakukan migrasi besar-besaran ke selatan. 

Meja abu dan tempat kumpul keluarga.
Yang ketiga terjadi saat kaisar dinasti Song bereksodus ke Selatan dan mendirikan dinasti nansong di kota Lingan. Karena suku Yuan menyerang ke dataran tengah, maka suku Han yang berdiam di aliran sungai Hoangho menyeberangi sungai untuk pergi ke Selatan dan sebagian ke Meizhou dan Huizhou. Pada masa inilah muncul istilah hakka atau Ke yang artinya tamu, karena suku Han yang bermigrasi merupakan pendatang di tempat baru. 
Ranjang pengantin, lengkap dengan double happiness.
Yang keempat terjadi saat masa kekuasaan Suku Man di Dataran Tengah. Para pejuang Hakka mengadakan perlawanan terhadap dinasti Qing di Fujian dan Guangdong. Karena kalah, maka mereka pun berpindah, ada yang ke Taiwan, Guangdong Utara, Barat, Tengah, Guangxi, Hunan, dan Sichuan. 

Kereta tandu.
Migrasi yang kelima terjadi setelah Perang Candu di tahun 1840. Pemberontakan Tai Ping Tian Guo mengalami kekalahan, sehingga mereka bermigrasi untuk menghindari pembalasan. Sebagian bermigrasi ke luar negeri. 
Alat musik tradisional.
Migrasi yang keenam di pertengahan abad 20, dengan tujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sebagian bermigrasi hingga ke Eropa dan Amerika. Pada saat ini orang Hakka telah menyebar di 5 benua dan 80 negara. 
Peti kayu untuk digunakan sebagai koper atau menyimpan barang.
Salah satu ciri khas yang dimiliki suku Hakka adalah tulou. Tulou, atau bangunan tanah, adalah tempat pemukiman orang Hakka yang istimewa di pegunungan Fujian. Tulou yang asli biasanya dibuat besar, tertutup dan bertingkat 3 sampai 5. Tulou dibangun dengan tanah yang ditumbuk tebal dan padat. Tulou yang besar dapat dihuni hingga seratus keluarga. Pada tahun 2008, tulou di Fujian dicatat sebagai salah satu cagar budaya oleh UNESCO.
Gambar tulou. 
Selain tulou, orang Hakka telah mendirikan berbagai macam bangunan, untuk menyesuaikan situasi dan kondisi setempat. Dari rumah segi empat, rumah lima sudut, dan rumah melingkar. Ciri khas semuanya adalah besar dan luas, mudah dihuni oleh keluarga besar dan diturunkan ke generasi-generasi berikutnya. Tidak heran bangunannya selalu kuat.
Peralatan pertanian yang dimiliki keluarga Hakka. 
Lion Dance Hakka.
Di bagian luar ruangan Museum Hakka Indonesia terdapat Museum Yongding Hakka Indonesia. Yongding merupakan salah satu kabupaten di provinsi Fujian. Di sini diperkenalkan tentang tokoh-tokoh terkenal dan juga obat-obatan tradisional Tionghoa.
Obat-obatan Tionghoa.
Rempah-rempah dan hewan-hewan untuk obat.
Kuliner Hakka yang juga digemari oleh orang-orang selain Hakka.
Sesuai dengan tujuan pembuatan museum ini, kami pun semakin mengetahui kontribusi warga keturunan Tionghoa atau etnis Tionghoa bagi bangsa Indonesia. Dimulai dari zaman Belanda, partisipasi pemuda dalam Sumpah Pemuda maupun dalam proses kemerdekaan bangsa Indonesia. Semuanya ini merupakan fakta bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia, demi untuk memperkuat proses pembangunan bangsa.
Pejuang Hakka melawan penjajah. 
Selain Museum Hakka, masih banyak museum yang dapat dikunjungi di TMII ini, seperti PP IPTEK dan Dunia Air Tawar dan Dunia Serangga. Jadi, kalau memang sudah bingung mau jalan-jalan kemana, TMII dapat menjadi pilihan loh.
Pancoran tempo dulu. 
Sekilas Info
Museum Hakka Indonesia
Alamat: Taman Budaya Tionghoa Indonesia, TMII, Jakarta Timur
Telephone: 0816728846/081380331338/02192363682
Jam Operasional Museum: 09.00 – 16.00 (Selasa – Minggu), libur hari Senin.
HTM Museum: Gratis.

Jam Operasional TMII: 07.00 – 22.00
HTM Taman Mini:
Mobil: Rp 15.000,00
Motor: Rp 10.000,00
Bus/Truk: Rp 35.000,00

Tiket Pintu Masuk: Rp 20.000,00 (3 tahun sudah dikenakan biaya).

Tuesday, June 18, 2019

Dunia dalam Berita di Museum Macan


Sebagai homeschooler, kami paling senang mengunjungi museum. Mengapa? Karena saat mengunjungi museum, anak-anak dapat memelajari hal-hal baru dengan lebih menarik. Dari museum sejarah seperti Sumpah PemudaMuseum satwaMuseum AngkutMuseum Tubuh, atau bahkan Museum Science baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kali ini kami berkesempatan mengunjungi Museum Macan.

Diawali dengan keisengan si mama untuk mengikuti kuis di Detik dan memenangkan hadiah dua tiket ke Museum Macan. Saya pun bertanya tentang prosedurnya kepada pihak Museum Macan dan ditanggapi dengan luar biasa baik oleh pihak Museum Macan. Mereka menginfokan bahwa setiap Minggu ada tour anak yang akan dimulai pukul 14.00. Kami pun janjian untuk mengunjungi Museum Macan di hari Minggu.
Another free tickets for the girls. Thank you Museum Macan :) 
Museum Macan (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) yang berlokasi di daerah Jakarta Barat bukanlah berisi tentang hewan-hewan seperti macan alias harimau, tetapi berisi karya seni. Museum ini sudah cukup terkenal, terutama saat Yayoi Kusama mengadakan pameran di sini. Kali ini tema yang ada adalah Dunia dalam Berita.
Masriadi Sang Pemenang karya I Nyoman Masriadi.
Mendengar kata-kata diatas, pastilah kita yang lahir sebelum tahun 90-an familiar dengan kata-kata tersebut. Terbayang di benak kita bahwa waktu telah menunjukkan pukul 21.00 dan waktunya mendengarkan berita di televisi. apapun stasiun TV yang ditonton, pasti semua secara serentak menampilkan Dunia dalam Berita pada pukul 21.00. 

Namun seiring dengan era reformasi, Dunia dalam berita pun bukan satu-satunya berita yang dapat dilihat. Setiap stasiun TV boleh membuat berita. Kebebasan dan perubahan mulai terlihat. Nah, di pameran ini akan ditampilkan karya-karya dari dua generasi yang berbeda, yaitu mereka yang memiliki bahasa artistik yang seiring dengan pengalaman mereka pada  masa perubahan sosial dan politik seputar reformasi dan mereka yang lahir setelahnya dengan pendekatan yang lebih bersifat grafis.

Saat kami datang, kami disambut oleh kak Galuh sebagai tour leaderuntuk anak-anak. Kami diajak untuk masuk ke instalasi pertama, yaitu Elevation di instalasi Matter and Place. Di Elevationini anak-anak mengeksplorasi keragaman rumah adat Indonesia berdasarkan tingkat ketinggian rumah-rumah itu dari atas tanah.
Joglo dengan ketinggian 80 cm diatas tanah.
Rumah adat Toraja dengan ketinggian 2 M diatas tanah.
Rumah adat dengan posisi tertinggi yang ada di Papua dengan ketinggian 2.6 M diatas tanah.
Setelah selesai melihat-lihat rumah adat Indonesiayang beraneka ragam, anak-anak diajak untuk bereksplorasi dengan menggambar di dinding dengan menggunakan tangan. Spot ini tentunya menarik bagi anak-anak karena anak-anak bebas menggambar dan menulis yang mereka sukai.

Selanjutnya mereka diajak untuk melihat karya A Blank Spot in My TVoleh FX Harsono. Di setiap gambar terdapat blank spot dibagian mulut mereka. Kak Galuh menjelaskan bahwa sebelum era reformasi tahun 1998 media massa sangat dikendalikan oleh negara. Itu sebabnya kata-kata yang dikeluarkan akan disensor dan diperiksa. Namun setelah masa reformasi, orang bebas mengemukakan pendapat dan berbicara. Walaupun demikian, setiap kata-kata yang dikeluarkan haruslah dapat dipertanggungjawabkan dengan benar. 
A Blank Spot on My TV
Karya selanjutnya yang dilihat anak-anak adalah I Eat You Eat Me karya Mella Jaarsma. Di karya ini anak-anak diajak melihat video tentang orang yang menyuapi pasangan di depannya. Karya ini terinspirasi oleh tradisi pernikahan orang Jawa yang melambangkan kerukunan dan saling berbagi. Memang karya-karya Mella Jaarsma berfokus pada berbagai bentuk keragaman ras dan budaya yang tercermin lewat pakaian, makanan, dan tubuh.
I Eat You Eat Me.
Refugee Only, lengkap dengan perlengkapan darurat.
Shameless Gold dari kepompong liar dan kasar.
Seakan menyindir bahwa semua orang dapat memakai emas.
Zipper Zone, ada foto di dalamnya loh.
Setelah selesai melihat karya Mella Jaarsma, anak-anak langsung diajak untuk melihat karya Krisna Murti yang berjudul Makanan Tidak Mengenal Ras. Di instalasi ini terdapat 12 kloset duduk merah muda. Didalam setiap kloset terdapat gambar makanan yang ada di Indonesia. Dan makanan-makanan ini ternyata merupakan makanan khas negara-negara lain seperti China, India, Arab. Dengan kata lain, makanan tidaklah mengenal ras.
Makanan Tidak Mengenal Ras.
Martabak Asin yang ternyata dari India.
Wedang ronde yang berasal dari China. 
Di samping instalasi terdapat spot Education Station yang menyediakan kertas dan alat-alat tulis. Ternyata spot ini merupakan spot untuk membuat zine atau magazine atau majalah. Tentu saja anak-anak dengan senang hati duduk dan mengambil peralatan untuk membuat majalah.
Ramai-ramai membuat Zine. 
Walaupun Museum Macan merupakan tempat yang children friendly, namun tetap saja ada karya yang hanya untuk 18+. Seperti karya Agus Suwage yang berjudul Pressure and Pleasure. Karya ini dibuat pada tahun 1999, satu tahun setelah reformasi. Instalasi ini cukup unik karena menggunakan tenda militer. Memang pada tahun 1998 tenda militer sering terlihat di tempat-tempat umum. Namun uniknya tenda ini dibuat dari poster-poster bioskop zaman kami masih kecil, yang gambarnya agak sensual. Apa artinya ya?
Pressure and Pleasure karya Agus Suwage.
Viva la Muerte (Panjang Umur Kematian) karya S Teddy D.
Predator dari baja dan barel minyak yang biasa digunakan di militer.
Setelah anak-anak dipaksa selesai membuat majalah, mereka pun diajak untuk melihat Operation Control Mind karya Heri Dono. Instalasi yang dibuat di tahun 1999 ini menggambarkan bagaimana orde baru mengendalikan setiap media massa. Di bagian bawah tersedia injakan yang dapat diinjak oleh anak-anak. Dan saat diinjak, maka si pengendali akan mengendalikan setiap orang di dalam gelas dan menghasilkan siluet seperti wayang.
Operation Control Mind.
Karya Heri Dono ini merupakan karya terakhir yang dilihat anak-anak di ruang pameran. Anak-anak diajak untuk beranjak ke Children’s Art Space. Di sini terdapat instalasi Main Getah atau Rubberscape karya seniman Malaysia Shooshie Sulaiman. Di sini anak-anak seakan memasuki hutan karet, lengkap dengan bunyi hewan dan bau daun karet. Mereka diajak mengeksplorasi kegunaan karet dalam kehidupan sehari-hari.
Rubberscape
Biji karet yang dapat digunakan jadi biji congklak.
Stempel yang dibuat dari karet.
Karet warna-warni.
Instalasi berikutnya yang kami kunjungi adalah Infinity Room. Infinity Room merupakan karya seniman Jepang Yayoi Kusama. Di tempat ini kami dibatasi untuk masuk berdua-berdua karena ruangannya yang kecil. Dan waktu yang diberikan untuk berfoto adalah 30 detik.
Cantik kan lampunya. 
Di lantai atas terdapat pameran Hari-Hari di Cicadas karya Jeihan. Jeihan merupakan pelukis asal Bandung. Cicadas merupakan tempat tinggal dari Jeihan. Ciri khas dari lukisan Jeihan adalah bagian mata yang dihitamkan. Ini menggambarkan keprihatinan Jeihan akan masa depan bangsa.
Mata gelap khas Jeihan. 
Selain lukisan, Jeihan juga membuat puisi. Seperti Remi Silado, Jeihan dengan rekan pujangganya terkenal dengan puisinya yang mbeling atau nakal.
Puisi Mbeling karya Jeihan.
Selesai sudah kunjungan kami di Museum Macan. Anak-anak pun senang, apalagi dipandu oleh kak Galuh yang begitu ramah terhadap anak-anak. Pameran Dunia dalam Berita ini akan terus ada hingga 21 Juli mendatang. Kami menyarankan untuk datang di hari Minggu bagi orang tua yang membawa anak-anak.
Quote yang bagus.
Sekilas Info
Museum Macan
Alamat: AKRTower Level M, Jalan Panjang No.5 Kebon Jeruk, JakartaBarat
Jam Operasional: 10.00 – 18.00 (libur hari Senin).
HTM: Rp 100.000,00 (dewasa) dan Rp 80.000,00 (anak-anak)